Selamat Datang di Media Online KUA Kecamatan Mandalawangi Kab. Pandeglang - Banten "Terimakasih Sudah Tidak Memberikan Imbalan Atas Pelayanan Yang Kami Berikan"

ARTIKEL: KUA KITA (KUA YANG BEBAS DARI PUNGLI)

KUA KITA (KUA YANG BEBAS DARI PUNGLI)
Oleh: Khoirul Anwar, S.HI, M.Sy.

Beberapa hari ini, kita disuguhkan berita miring mengenai pelayanan yang dilakukan oleh aparatur negara. Yaitu adanya pungli (pungutan liar) dalam pelayanan masyarakat. Pungli ini sejatinya bukan bahasa yang baru, karena sudah sejak lama pungli ini telah tumbuh dan mengakar di negara kita ini.

Pungutan liar, ketika ditelaah secara pengertian, adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan atau korupsi.[1]


Jika dilihat dari pengertian di atas, pungutan liar ini dimulai dan dilakukan secara aktif oleh seseorang yang memiliki kewenangan dan kebijakan dalam melakukan pelayanan masyarakat atau seseorang yang menjadi perantara untuk itu.

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, fenomena pungli ini memang sudah sangat mengakar di dalam birokrasi di negara kita ini. Di depan mata, kita masih sering melihat perilaku pungli ini terjadi secara terstruktur dan masif.

Masih dari media, kita bisa dapatkan informasi mengenai pungli yang terjadi di beberapa instansi. Dari berita tersebut, pelayanan nikah di KUA (Kantor Urusan Agama) merupakan salah satu item pelayanan yang masih terjadinya praktek pungli. Apakah ini benar-benar terjadi pada saat sekarang? Apakah pegawai KUA yang melakukan praktek pungli? Apakah informasi ini didapatkan dari kondisi KUA masa lalu? Atau apakah hanya sebagai pemanis berita di dalam media??? Tentunya, perlu adanya kajian empiris untuk membuktikan kebenaran berita di atas.

Dalam hal pelayanan nikah di KUA, telah ada beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di antaranya yaitu PP No. 19 Tahun 2015 Tentang Jenis dan Tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kemenag, yang mengatur biaya nikah di luar kantor dan atau luar jam/hari kerja dikenakan tarif Rp. 600.000,- dan bagi yang menikah di dalam KUA (di hari dan jam kerja) tarifnya adalah Rp. 0,- , juga bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dan atau terkena bencana alam tarif nikahnya Rp. 0,-. Dari regulasi tersebut, sangat jelas bahwa tidak ada biaya lain dalam pelayanan nikah selain yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, haram hukumnya bagi pegawai di KUA untuk meminta lebih dari tarif yang telah ditetapkan.

Seiring dengan hal tersebut, Kantor Kementerian Agama Kab. Pandeglang Prov. Banten telah menetapkan program Zona Integritas sejak tahun 2015 seiring dengan dibentuknya Tim Zona Integritas di wilayah Kantor Kementerian Agama Kab. Pandeglang. Zona integritas ini menjadi momentum bagi seluruh KUA yang ada di wilayah Kabupaten Pandeglang untuk dapat membentuk wilayah kerjanya menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani WBBM. Otomatis, dengan digaungkannya program Zona Integritas, pungli di KUA menjadi hal yang tidak dapat ditolerir lagi.

Untuk mendapatkan kebenaran mengenai berita adanya pungli di KUA, dalam tulisan ini akan diungkapkan dua contoh kasus yang mencuat di beberapa media. Kasus pertama yaitu kasus yang terjadi di Jawa Tengah, diberitakan oleh http://tempo.co pada tanggal 4 Agustus 2016.[2]  Media tersebut menyatakan bahwa, pungli timbul dari P3N/Modin/Lebe, bukannya dari pegawai KUA. Masyarakat biasanya mempercayakan pengurusan pernikahan kepada P3N. Keberadaan P3N rupanya masih tetap ada eksistensinya walaupun secara hukum mereka tidak diperpanjang lagi SK-nya oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Biaya yang diminta P3N rupanya melebihi tarif yang telah ditetapkan, dengan alasan membayar administrasi. Yang menjadi pertanyaan, administrasi apa dan untuk siapa? Jika pegawai KUA tersebut tidak menerima atau tidak mengarahkan untuk meminta, maka KUA tersebut bukanlah aktor pungli, tapi sebagai korban pemberitaan media.

Kasus yang lain kejadiannya hampir sama, yang diberitakan di http://jateng.tribunnews.com/ pada tanggal 13 April 2015.[3] Dugaan pungli ditujukan kepada bekel (Modin/P3N/Lebe) dari pihak kelurahan di Kabupaten Kendal. Dalam berita ini, dugaan pungli terjadi dalam pelayanan pernikahan, yaitu dibebankan biaya sebesar Rp. 600.000,- yang seharusnya Rp. 0, karena menikah di dalam Kantor dan pada jam/hari kerja. Ini adalah dugaan yang harus dibuktikan kebenarannya, sehingga KUA tidak dijadikan kambing hitam. Jika memang ada aparat yang aktif meminta biaya tambahan, maka dia adalah oknum aparat yang menyalahi kewenangannya. Secara SOP (Standar Operasional Prosedur), pegawai KUA hanya menerima bukti setoran yang telah dibayarkan masyarakat ke Bank Persepsi. Bukan menerima uang pendaftaran yang dititipkan oleh masyarakat.

Untuk memutus mata rantai praktek pungli di KUA, perlu adanya kesadaran penuh dari seluruh elemen masyarakat untuk membenahi KUA kita. Pihak masyarakat, harus paham mengenai alur pencatatan nikah, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, pengumuman sampai acara akad nikah. Kata kuncinya adalah jangan melalui perantara.

Dari pihak aparat Desa/Kelurahan, harus menyadari bahwa pelayanan Nikah merupakan pelayanan masyarakat yang dipayungi oleh PP No. 19 Tahun 2015 yang memiliki spirit untuk meniadakan biaya nikah termasuk di dalamnya adalah untuk pembuatan syarat pernikahan, berupa penerbitan formulir N1, N2 dan N4. Jika ada Peraturan Desa (Perdes) yang membebankan biaya kepada masyarakat dalam penerbitan formulir kehendak nikah, maka Perdes tersebut seharusnya gugur demi hukum, karena bertentangan dengan PP No. 19 tahun 2015. Secara hierarki, PP adalah regulasi setingkat di bawah UU, sedangkan Perdes merupakan regulasi terendah dalam struktur hierarki regulasi kita. Sangat aneh jika Peraturan Desa yang dikeluarkan oleh aparat Desa bisa mengalahkan PP yang dikeluarkan oleh Presiden.  

Pihak pegawai KUA, harus juga memahami mengenai hak dan kewajibannya di dalam melaksanakan tugas di KUA. Pegawai KUA, baik Kepala KUA, Penghulu, dan Staf KUA, hanya sebagai pelaksana regulasi, bukan pengambil kebijakan. Bekerja sesuai SOP (Standar Opersional Prosedur) Pelayanan yang telah ditetapkan akan membantu dalam menghindari praktek pungli.

Kementerian Agama Pusat, sepertinya harus mengkaji ulang PMA No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, yang menetapkan persyaratan kehendak nikah yang diterbitkan formulirnya oleh kepala desa/lurah. Kenapa tidak mencontoh pembuatan paspor yang hanya membutuhkan data diri baik berupa KTP, KK, Akta Kelahiran dll. Tujuannya adalah dalam rangka menyederhanakan birokrasi agar lebih bersih, efektif , dan terpercaya. Sesuai dengan Nawa Cita yang digaungkan oleh pemerintah sekarang, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.[4]

KUA yang dapat melayani masyarakat dengan pelayanan prima dan sesuai dengan aturan yang ada, KUA yang bebas dari korupsi, dan KUA yang menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani, merupakan dambaan masyarakat kita. Sebaiknya kita bangun citra baik KUA dimulai dari diri sendiri dan dimulai dari sekarang juga. KUA kita, adalah KUA yang bebas dari pungli. Semoga itu adalah kenyataan dan bukan hanya fatamorgana. [KA]

3 cara mudah melaporkan tindakan pungli:
Sms: 1191 / 0856 8880 881 / 08211213 1323
Telp: 193 / 0821 1213 1323